“Kapan nikah?” Part 1

Hai ladies saya beranikan diri tulis tulisan ini yang sudah lama jadi unek-unek saya. Di blog ini saya bukan menjudge, mengajari atau berbuat yang tidak baik melalui tulisan ini. Blog ini semata karena saya ingin sharing tentang fenomena disekitar saya dan memang benar adanya beberapa teman kantor lama dan baru, kenalan,orang baru ketemu, teman di sosial media,bahkan saudara yang diatas usia 30 dan belum menikah yang cukup merasa tidak nyaman ketika ditanya “kapan nikah?”. Kalau ladies bertanya kenapa judulnya “kapan nikah?” ya karena menurut saya pribadi itu pertanyaan pertama dan paling umum yang sering saya dengar banyak tempat, pertanyaan yang cukup ga penting tapi cukup bikin gerah bahkan bikin saya sempet ingin jawab emang situ akan bayarin biaya kalau saya nikah… hehe (kidding),hingga kalimat tanya ini jadi acuan tulisan saya.Oh ya ladies,rencananya akan ada tulisan “kapan nikah?” part 2.

Jadi tahun ini saya akan genap berusia 33 tahun di bulan Agustus, waah usia yang cukup bahkan terlalu matang ya..hehe.Dan ladies tau pasti bagaimana orang-orang disekitar memperlakukan saya, mulai dari nanya kapan nikah, sudah punya calon, emang ga pengen nikah, sampe kapan mau sendiri, nikah itu enak lhoo, mau cari yang kayak mana, mau kumpulin duit sebanyak apa dan masih banyak pertanyaan lain. Belum termasuk sindiran, katanya cantik tapi kog belum laku, eh si itu gendut udah nikah, anak pak itu nasibnya bagus ya dapet suami kaya, dan masih banyak lagi. Dan biasanya tekanan pertanyaan itu datang dari orang atau keluarga terdekat,yang ga deket-deket amat juga suka iseng nanya. So dari pada sensi bahkan ambil jalan pintas buru-buru menikah terus nyesel, yuks simak penjabaran aku siapa tau bisa merasa agak baikan.

Pertama saya mau cerita dulu bahwa saya anak pertama dari 4 bersadaura yang semua perempuan. Orang tua saya adalah PNS guru yang tinggal di desa di daerah lampung selatan. Saya suku batak karo dimana mama punya saudara 9 dan bapak 6 bersadaura. Belum ditambah keluarga lain. Bisa di bayangkan gimana eratnya kekeluarga di keluarga kami. Meski ketemu belum tentu sebulan sekali tapi kami saling tahu kabar setiap saudara dan masalah satu orang bisa jadi masalah bersama, kog bisa…hehe(next akan aku cerita kan). Intinya adalah kami keluarga besar yang dekat satu sama lain, para sepupu ga begitu jauh jarak umurnya dan rata-rata perempuan. Dengan keadaan tersebut sudah kebayang gimana majemuknya lingkungan saya.D sisi lain,bapak di sekolahnya ada sekitar 40 guru dan staff dan beberapa anak-anak guru itu ada yang satu tingkat waktu SD atau Smp. Belum teman mama semua guru sd sekecamatan mama kenal, saya juga hampir kenal karena saya sempat honor mengajar di sd mama jaman kuliah semester akhir. Lagi pula kecamatan lingkupnya kecil. Ini belum terhitung lingkup gereja ya. Dan di lingkungan desa saya. Kebetulan orang tua cukup aktif kalau ada tetangga yang nikahan orang tua suka bantu masak, jadi among tamu atau apapun, bantu begitu disebut rewang dalam bahasa jawa(memang lingkungan jawa).
Tetangga sering nanya, bu kapan kami rewang rumah ibu, pengen liat Ibu mantu, atau ada yang nanya Bapak anaknya milih-milih ya, suruh cepetan entar keburu tua kita, sudah mau pensiun ini. Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat lain yang sebenarnya tidak perlu di ucapakan tapi namanya orang tua pasti kepikiran. Untuk saya sendiri yang ada di Jakarta meski nampak tidak bersosialisasi tapi ketika bertemu teman komunitas, teman lama atau teman apapun ga pernah luput terselip sindiran kakak kan jomblo mana paham, atau kasian ya jomblo, dan lain sebagainya. Saya biasanya nge les dengan jawaban ala ngeselin “ya jomblo tapi cantik kan”, atau “ya jomblo tapi hidup”…hehe.
Merefleksi terhadap semua pertanyaan,pernyataan,sindiran itu jujur yang jadi fokus saya pertama adalah perasaan orang tua. Saya kasihan pada mereka yang harus hadapin semuanya tapi saya ga bisa tolong atau ubah pola fikir mereka. Fokus kedua saya adalah diri sendiri. Sudah banyak artikel, buku, yang mengulas tentang jomblo atau single life. Saya tahu bahwa menikah tertulis di kitabku sebagai pernah untuk beranak cucu, pernikahan adalah kali pertama Yesus membuat mukjijat yang berarti pernikahan atau keluarga itu penting dimana Tuhan. Saya juga tau ketika orang bilang perempuan ada masanya untuk bereproduksi. Dan masih banyak lagi hal-hal yang saya setuju sebagai acuan untuk menikah. Di tulisan kali ini saya mau soroti tentang sudut pandang saya terhadap perkataan orang-orang dan sepengetahuanku tentang hal ini dari banyaknya sharing yang saya dengar.
Jadi menurut saya menikah bukan sesuatu yang harus dipakasakan, apalagi seperti jadi gengsi kalau sudah menikah dianggap laku. Menikah bukan ajang perlombaan, siapa yang menikah duluan dia yang menang.

-Menikah bukan tentang supaya ga di tanyain orang, malu sama tetangga, emang kenapa kalo di tanya kalau sudah nikah ya bakal ada pertanyaan lanjutan, kapan punya anak, kapan punya rumah, kapan punya anak kedua terus sampai mereka masih punya mulut dan hasrat untuk menjadi polisi sosial.
-Menikah bukan soal masalahnya akan selesai, memang masalah jadi double tapi orang nya juga double atau bisa jadi berdua lebih baik. Kalau kamu merasa sendiri saja masih banyak hal yang harus di kerjakan ya kerjakan apa yang jadi prioritas, memang pekerjaan ga ada harusnya dan ga akan pernah selesai.
-Pernikahan ga selalu jadi patokan seseorang bahagia. Banyak teman, saudara yang tidak bahagia karena menikah jadi kembali lagi tidak ada tolak ukur suatu kebahagiaan yang hakiki. Bahagia itu kita yang ciptakan dan tidak tergantung dari luar apalagi pasangan belum tentu bisa membahagiakan,aku sering dengar ungkapan lelaki ga mengerti mau nya wanita (Mars vs venus) dan sebagainya next akan saya share di next blog.
-Menikah bukan sebatas prewedding, wedding party,honey moon,ajang mewujudkan mimpi yang sudah di doktri dongeng sejak kecil. Jujur saya punya konsep pernikahan impian yang simpel, murah dan ga habis kan tenaga. Dari pernikahan ada perjalanan panjang pemikiran rumah isi rumah, asuransi, bantu keluarga, berperan disosial, improve diri kan belum pernah melakukan jadi ikut kelas yoga laah, kelas parenting, kalau anak sudah besar ada biaya sekolah, less dan lain-lain.
-Menikah ga selalu dan pasti punya anak. Sejak 2009 saya ke Jakarta saya cukup tersebut dengan banyaknya kasus rekan kerja yang susah punya anak hingga usia pernikahan 10 tahun. Ga sedikit yang menyerah hingga bercerai (next aku sharing juga di blog). Banyak orang tua yang kewalahan menjaga anak usia 0 bahkan orang tua yang anaknya sudah besar. Main job saya sebagai guru sampai punya daycare seperti sekarang saya cukup terima banyak cerita susahnya merawat anak dengan segala drama-dramanya.
-Menikah bukan semata tentang karena aku suka anak dan sudah pengen punya anak, pengen anakku nanti aku pakaikan baju princess, di jepit kuda aku kasih kuteks lulurnya, dan sebagainya. Bahkan ada yang obsessed kalau nanti punya anak akan bisa membahagiakan anak ga seperti dia dulu di perlakukan oleh orang tuanya, menurut aku tujuannya sungguh mulia namun perlu ditelaah kembali apakah semudah itu membesarkan anak, belum dari kesiapan mental jadi Ibu yang sabar, cerdas dan tangguh. Tidak sedikit teman saya yang punya anak bilang anak memberi kebahagiaan tapi di waktu yang sama dia juga bilang punya anak itu beban, ga bisa ini itu apalagi jika anak masih sangat kecil ditinggal ke toilet sebentar saja ga bisa. Ga sedikit orang tua yang bilang ke saya miss Val bisa ngajar anak sebanyak itu gimana ya saya ngajar anak satu aja sudah emosi…hehe. Momies yang di daycare juga sama miss saya urus satu anak saja repot apalagi banyak. Jadi kalau mau nikah coba liat kesiapan kamu dulu ini belum soal isu ekonomi, memanjakan anak, siapa yang menang yang lebih kuat anak atau Ibu (again next sharing yaa).
-Menikah bisa menghindari zinah. Banyak orang menikah tapi bisa zinah. Kalau saya menikah bukan karena Semata supaya halal berhubungan badan setiap waktu, karena pernikahan ga cuma soal sex.

-Menikah bukan semata karena akan ada yang menjaga, ada yang menikah dengan suami tapi di tinggal tugas setaun di luar negeri. Ada yang beranggapan menikah akan terjaga kehidupan financialnya (terutama wanita) dan ternyata banyak yang menikah malah makin terjebak dalam pusaran permasalahan economic. Dari sumbernya aku dapat kabar bahwa kasus perceraian terjadi dengan masalah utama adalah economic.Awal pernikahan suami masih bekerja dan mapan seiring waktu suami berhenti, di berhenti atau pindah kerja jadi mengguncang kestabilan ekonomi keluarga dan masih banyak cerita lain. Jika ada waktu akan saya tulis juga beberapa pengalaman pernikahan teman tentang masalah ekonomi yang menarik untuk di ulas.

Dan masih banyak lagi hal yang ingin saya tulis. Kalau di tanya tentang saya sendiri saya akan cerita kan selanjutnya mengapa saya belum menikah, karena apa itu lebih ke masalah pribadi mungkin sebagian bisa saya ceritakan.Sekian tentang pemikiran saya yang terbatas sepengetahuan saya saja. Saya berusaha menulis point lain yang sudah saya janjikan secepatnya supaya bisa berkesinambungan dan menjadi referesi ladies semua.Jika ada tambahan, atau kritik silakan bisa information ke saya bisa via email valentina.bangun@yahoo.com

7 thoughts on ““Kapan nikah?” Part 1

  1. Setuju👍 sebagian pasangan bercerai karena ekonomi. Tapi sebagian lagi juga karena faktor2 lain.
    Kalo aku sih juga belum terpikir utk nikah yah, tunggu bener2 mantap hati dan niat. Usaha dulu bahagiakan orangtua😁

    Like

  2. Dimana mana dan tiap org pasti bakal dapat pertanyaan seeerti ini.. apalagi kalo udh dtg ke acara nikahan.. 😅
    Tp kalo aku sih pengen cepet nikah kk.. karena jd seorang istri itu ladang pahala buat kita.. :’)

    Like

Leave a reply to retnoanawati Cancel reply